Ekspansi klub-klub eropa dimulai dengan datangnya Borussia Dortmund yang dijadwalkan bermain melawan Timnas Indonesia. Setahun setelah kedatangan Die Borussen, rival satu negaranya, Bayern Munich menyusul untuk bermain di Gelora Bung Karno. Setelah dikunjungi 2 tim raksasa Jerman, klub-klub eropa ke Indonesia semakin gencar menjadwalkan laga pramusimnya di Indonesia. Bahkan 2 tahun belakangan terdapat 6 klub yang telah dan berencana menjalani laga persahabatan di Indonesia, seperti, Inter Milan, Valencia, QPR dan yang bulan ini akan hadir yaitu Arsenal, Liverpool, dan Chelsea.
Dengan hadirnya klub-klub eropa tentunya akan menghadirkan manfaat dan juga kerugian. Banyaknya permintaan laga persahabatan dari klub eropa seakan membuat PSSI buta. Dengan melawan pemain-pemain kelas dunia memang akan sangat bermanfaat bagi pemain-pemain timnas. Namun apakah kepentingan pasar lebih diutamakan ketimbang faktor lawan yang bermain dengan serius?
Contoh nyatanya beberapa tahun lalu saat Dortmund melawan Timnas Indonesia. Pada pertandingan itu tampak jelas Die Borussen tidak bermain seperti ingin menang bahkan gol kemenangan klub yang saat itu masih diasuh oleh Thomas Doll, hanya didapatkan melalui tendangan penalti Sebastian Kehl. Hal-hal yang sama terjadi mulai dari pertandingan melawan Bayern, Inter Milan, dan Valencia.
PSSI sebagai organisasi yang menaungi sepakbola tanah air tampaknya hanya mementingkan 'hiburan' daripada mendapatkan lawan tanding yang berkualitas. Maksud dari kata berkualitas di kalimat sebelumnya yaitu lawan tanding yang sama-sama mementingkan pentingnya pertandingan itu. Dengan 'hanya' melawan klub yang hanya mencoba untuk memperbesar koneksi pasarnya bukanlah suatu yang akan memberikan dampak yang signifikan bagi Timnas dalam bentuk kerja sama antar pemain ataupun taktik. Well, it would be better if we play againts Laos, Cambodia or another national team than againts european club.
Kebiasaan PSSI untuk terus menjadikan Timnas sebagai ajang 'hiburan' tampaknya tidak akan berhenti seiring jalannya waktu.Tidak jelas apakah sebenarnya PSSI kurang memiliki kesadaran akan pentingnya laga persahabatan melawan lawan yang berkualitas ataupun lebih mementingkan kepentingan bisnis dari suatu kelompok.
Mindset masyarakat Indonesia yang masih menganggap bahwa kedatangan bintang-bintang kelas dunia akan memberikan suatu pengalaman dan pembelajaran bagi pemain timnas tampaknya masih belum pudar, sejak tahun 1970. Kala itu, Pele dan kawan-kawan telah hadir dan hingga Arsenal yang akan bermain pada hari artikel ini dibuat, sepakbola Indonesia masih segitu-segitu saja. Kedatangan Inter Milan dan Valencia tahun lalu juga tidak membuat Indonesia menjadi juara Piala AFF, malah menginjakkan kaki di semifinal saja tidak sanggup (meskipun sedang terjadi konflik PSSI yang membuat timnas terpecah belah).
Dan meskipun Indonesia telah kehadiran puluhan klub Eropa sejak tahun 1960, Indonesia tetap tidak 'mempelajari' ilmu tentang pembinaan usia muda, padahal Bayern Munich terkenal akan akademi sepakbolanya yang mengeluarkan bakat-bakat istimewa seperti Dietmar Hamman, Bastian Schweinsteiger, Toni Kroos, hingga Thomas Mueller.
Mungkin Indonesia hanya bisa bangga menyiarkan Piala Konfederasi secara gratis tanpa berharap dapat menjadi Tahiti -meskipun kebobolan 25 gol- tetap membuat seluruh bangsa bangga akan apa yang telah mereka raih.
No comments:
Post a Comment